Sebelumnya,
tidak pernah terbersit dibenaknya untuk mengambil keputusan ini. Bahkan berandai-andai saja pun tidak. Saat
itu, yang ada dalam fikirannya hanyalah betapa tidak adilnya takdir ini. Dia
harus meninggalkan tempat ini. Dan itu berarti harus meninggalkan mereka.
Teman-temannya, sahabatnya.
Yang dia rasakan hanya kesal dan
marah. Kesal karena disaat dia menyukai segala suasana yang dia dapat, dia
malah harus melepasnya. Dan marah karena dia tidak bisa menyalahkan siapa pun. Dia
tidak mungkin menyalahkan Tuhan kan?
Bintang. Itulah namanya. Saat
malam tiba dan awan pekat datang, dia pun tidak bisa nampak dan bercengkrama
dengan teman-temannya. Karena dia harus mengalah pada awan yang menghalanginya.
Mungkin seperti itulah dia sekarang, saat takdir berkata dia pun tak bisa
menolak.
“
Hai Bin. Akhirnya balik juga kamu kesini. Berapa lama ga masuk kelas? Gimana
udah baikan? Kemarin lancar kan? “
Baru menjejakan kaki saja Tania sudah
memberondongnya dengan pertanyaan beruntun seraya memeluknya erat. Tania adalah salah satu sahabat
terbaik yang pernah dia dapatkan di sini.
“
Nanya kok kayak kereta api? Yah kalau di
total hampir 2 minggu lah. See, seperti yang kamu lihat sekarang aku baik-baik
saja dan kemarin lancar berkat doa kalian”
Jawabnya sambil balas memeluk
Tania dan menyunggingkan seulas senyum.
Yang mereka tidak tahu,
kedatangan Bintang kali ini ke sekolah bukan untuk memberi kabar baik.
Sebaliknya, dia datang untuk berpamitan.
“
Oh ya, ini hari terakhir aku di sekolah deh kayaknya”
Ujarnya seraya menapaki
anak tangga yang mengantarnya ke kelas.
“
Jangan bercanda, apa maksudmu? Hari terakhir? Memangnya mau kemana? Baru juga
nyampe lagi ke sekolah”
Nisa mengeleng-gelengkan kepala dengan heran. Nisa juga merupakan sahabat
terbaik Bintang yang lain.
“
Aku pindah sekolah ya?” Bintang menghentikan langkahnya sesaat dan tersenyum.
“
Apa sih? Bercanda jangan kelewatan dong ! “ Nisa terus melangkah tanpa
menggubrisnya.
“
Aku sudah sembuh, tapi sepertinya gak bisa lepas dari dokter mulai sekarang.
So, hari ini aku mau pamit aja “ Bintang berkata dengan suara bergetar.
“
Bin, kamu janji sama kita buat lulus bareng disini loh” jawab Nisa dengan mata
berkaca-kaca.
“
Maaf, untuk kali ini sepertinya aku gak bisa nepatin janji”
Baginya sangat sulit untuk
mengucapkan kata-kata itu. Dulu dia pernah berjanji apa pun yang terjadi akan
tetap bertahan di sana sampai akhir. Tapi apa mau dikata, janji itu sepertinya
tidak bisa ditepati.
Kalau
boleh memilih, Bintang tidak ingin melewati hari itu. Langsung ke ke hari
selanjutnya saja boleh. Kalau ada pilihan yang lain, dia pasti akan menggantungkan
harapannya pada pilihan itu. Asalkan tidak harus mengambil pilihan ini untuk
meninggalkan mereka.
Mungkin terlalu banyak kenangan
yang mereka buat untuknya. Mungkin sangat banyak pelajaran yang mereka berikan
untuknya. Hingga untuk mengucapkan selamat tinggal saja terasa sulit.
Dan
setelah kejadian itu, ingatannya tak pernah lepas dari mereka. Yang dia hadapi
mungkin semacam ketergantungan terhadap orang-orang tedekat yang tiba-tiba saja
menghilang. Ya, ketergantungan semacam itu. Betapa tidak, terpaksa pergi dari
sahabat yang dari mulai tidur sampai tidur lagi bersama-sama dengan kita
mungkin salah satu hal yang sulit. Apalagi dengan tiba-tiba.
Selama
hampir satu setengah tahun, Bintang kembali menjalankan roda kehidupannya
layaknya dalam ‘kepalsuan’. Untuk sebagian orang, itu terlalu berlebihan. Tapi
itulah kenyataan yang dihadapi Bintang.
Setiap senyum yang tersungging di
bibirnya, mungkin itulah pedih yang dia coba jahit. Setiap tawa yang dia
lepaskan, mungkin itulah sakit yang dia coba tutupi. Apalagi saat melihat
potret mereka dalam balutan baju batik saat kelulusan. Pedih yang hampir
merekat tiba-tiba robek kembali dan ia harus bersusah payah untuk menjahitnya
lagi.
“
Seharusnya aku ada disana menjadi bagian dari salah satu almamater bersama
mereka. Seharusnya aku bisa ikut tersenyum lebar sambil berangkulan bersama
mereka. Seharusnya aku juga ada dalam puluhan potret itu bersama derai air mata
mereka” kata-kata itu yang selalu dia jeritkan dalam hati.
Seandainya waktu bisa kembali,
seandainya ada pilihan lain saat itu selain pilihan itu. Seandainyaaa.. ahh,
sudah berkali-kali dia menjeritkan ‘seandainya’ yang lain. Tapi tetap tidak
berubah.
Dan
sekarang?
Ternyata waktu bisa merubahnya
perlahan. Yang Bintang butuhkan hanya waktu. Waktu untuk mengubah semua ingatan
itu menjadi sebuah kenangan. Walaupun
mungkin tidak bisa disentuh, tapi kenangan itu masih bisa dibuka sewaktu-waktu.
Tapi ingatan mungkin bisa hilang seiiring berjalannya waktu.
“
Hei, ngelamun aja ! Udah bel istirahat nih. Ke bawah yuk ! “ ajak Zizi pada suatu ketika.
“
Eh, yuk ! “ ujarnya sambil merangkul sahabat barunya.
Ternyata hidup tak seburuk yang
dia pikirkan teman. Ternyata ‘pilihan lain’ itu masih ada, yaitu berdamai
dengan semuanya. Dengan masa lalu, dengan kenangan, bahkan dengan rasa sakit
sekalipun. Berdamai itulah pilihan
terbaik.
Kenangan
bersama mereka dulu, tidak akan pernah dia lupakan. Selamanya mereka akan tetap
menjadi sahabat paling berharga yang pernah ia miliki sampai sekarang, bersama
sahabat barunya di sini, di tempat yang baru pula.
Tuhan, terima kasih telah
melepaskan hati ini dari rasa pedih yang dulu membuncah. Walaupun jauh, dia
masih bisa menyampaikan rindu untuk mereka pada bintang di langit.
Dan yang akan selalu dia yakini
mulai saat ini, sedih dan senang datangnya pasti satu paket kan? Ayolah
tersenyum pada bintang-bintang disana, kawan !
TAMBAHAN:
Beberapa qoutes dari:
- Separuh Bintang by Eveline Kartika
0 comments:
Posting Komentar