April 23, 2012

CERPEN (TUGAS SEKOLAH) : BINTANG DAN KENANGAN

 




      Sebelumnya, tidak pernah terbersit dibenaknya untuk mengambil keputusan ini.  Bahkan berandai-andai saja pun tidak. Saat itu, yang ada dalam fikirannya hanyalah betapa tidak adilnya takdir ini. Dia harus meninggalkan tempat ini. Dan itu berarti harus meninggalkan mereka. Teman-temannya, sahabatnya.

Yang dia rasakan hanya kesal dan marah. Kesal karena disaat dia menyukai segala suasana yang dia dapat, dia malah harus melepasnya. Dan marah karena dia tidak bisa menyalahkan siapa pun. Dia tidak mungkin menyalahkan Tuhan kan?

Bintang. Itulah namanya. Saat malam tiba dan awan pekat datang, dia pun tidak bisa nampak dan bercengkrama dengan teman-temannya. Karena dia harus mengalah pada awan yang menghalanginya. Mungkin seperti itulah dia sekarang, saat takdir berkata dia pun tak bisa menolak.

                “ Hai Bin. Akhirnya balik juga kamu kesini. Berapa lama ga masuk kelas? Gimana udah baikan? Kemarin lancar kan? “
Baru menjejakan kaki saja Tania sudah memberondongnya dengan pertanyaan beruntun seraya memeluknya erat. Tania adalah salah satu sahabat terbaik yang pernah dia dapatkan di sini.

                “ Nanya kok kayak kereta api?  Yah kalau di total hampir 2 minggu lah. See, seperti yang kamu lihat sekarang aku baik-baik saja dan kemarin lancar berkat doa kalian”   
Jawabnya  sambil balas memeluk Tania dan menyunggingkan seulas senyum.

Yang mereka tidak tahu, kedatangan Bintang kali ini ke sekolah bukan untuk memberi kabar baik. Sebaliknya, dia datang untuk berpamitan.

                “ Oh ya, ini hari terakhir aku di sekolah deh kayaknya”
Ujarnya seraya menapaki anak tangga yang mengantarnya ke kelas.

                “ Jangan bercanda, apa maksudmu? Hari terakhir? Memangnya mau kemana? Baru juga nyampe lagi ke sekolah” 
Nisa mengeleng-gelengkan kepala dengan heran. Nisa juga merupakan sahabat terbaik Bintang yang lain.

                “ Aku pindah sekolah ya?” Bintang menghentikan langkahnya sesaat dan tersenyum. 

                “ Apa sih? Bercanda jangan kelewatan dong ! “ Nisa terus melangkah tanpa menggubrisnya.

             “ Aku sudah sembuh, tapi sepertinya gak bisa lepas dari dokter mulai sekarang. So, hari ini aku mau pamit aja “ Bintang berkata dengan suara bergetar.

                “ Bin, kamu janji sama kita buat lulus bareng disini loh” jawab Nisa dengan mata berkaca-kaca.

                “ Maaf, untuk kali ini sepertinya aku gak bisa nepatin janji”


Baginya sangat sulit untuk mengucapkan kata-kata itu. Dulu dia pernah berjanji apa pun yang terjadi akan tetap bertahan di sana sampai akhir. Tapi apa mau dikata, janji itu sepertinya tidak bisa ditepati. 

                Kalau boleh memilih, Bintang tidak ingin melewati hari itu. Langsung ke ke hari selanjutnya saja boleh. Kalau ada pilihan yang lain, dia pasti akan menggantungkan harapannya pada pilihan itu. Asalkan tidak harus mengambil pilihan ini untuk meninggalkan mereka.

Mungkin terlalu banyak kenangan yang mereka buat untuknya. Mungkin sangat banyak pelajaran yang mereka berikan untuknya. Hingga untuk mengucapkan selamat tinggal saja terasa sulit.

                Dan setelah kejadian itu, ingatannya tak pernah lepas dari mereka. Yang dia hadapi mungkin semacam ketergantungan terhadap orang-orang tedekat yang tiba-tiba saja menghilang. Ya, ketergantungan semacam itu. Betapa tidak, terpaksa pergi dari sahabat yang dari mulai tidur sampai tidur lagi bersama-sama dengan kita mungkin salah satu hal yang sulit. Apalagi dengan tiba-tiba.

                Selama hampir satu setengah tahun, Bintang kembali menjalankan roda kehidupannya layaknya dalam ‘kepalsuan’. Untuk sebagian orang, itu terlalu berlebihan. Tapi itulah kenyataan yang dihadapi Bintang. 

Setiap senyum yang tersungging di bibirnya, mungkin itulah pedih yang dia coba jahit. Setiap tawa yang dia lepaskan, mungkin itulah sakit yang dia coba tutupi. Apalagi saat melihat potret mereka dalam balutan baju batik saat kelulusan. Pedih yang hampir merekat tiba-tiba robek kembali dan ia harus bersusah payah untuk menjahitnya lagi. 

                “ Seharusnya aku ada disana menjadi bagian dari salah satu almamater bersama mereka. Seharusnya aku bisa ikut tersenyum lebar sambil berangkulan bersama mereka. Seharusnya aku juga ada dalam puluhan potret itu bersama derai air mata mereka” kata-kata itu yang selalu dia jeritkan dalam hati.

Seandainya waktu bisa kembali, seandainya ada pilihan lain saat itu selain pilihan itu. Seandainyaaa.. ahh, sudah berkali-kali dia menjeritkan ‘seandainya’ yang lain. Tapi tetap tidak berubah.

                Dan sekarang?

Ternyata waktu bisa merubahnya perlahan. Yang Bintang butuhkan hanya waktu. Waktu untuk mengubah semua ingatan itu menjadi sebuah kenangan. Walaupun mungkin tidak bisa disentuh, tapi kenangan itu masih bisa dibuka sewaktu-waktu. Tapi ingatan mungkin bisa hilang seiiring berjalannya waktu.

                “ Hei, ngelamun aja ! Udah bel istirahat nih. Ke bawah yuk ! “  ajak Zizi pada suatu ketika.

                “ Eh, yuk ! “ ujarnya sambil merangkul sahabat barunya.

Ternyata hidup tak seburuk yang dia pikirkan teman. Ternyata ‘pilihan lain’ itu masih ada, yaitu berdamai dengan semuanya. Dengan masa lalu, dengan kenangan, bahkan dengan rasa sakit sekalipun.  Berdamai itulah pilihan terbaik.

                Kenangan bersama mereka dulu, tidak akan pernah dia lupakan. Selamanya mereka akan tetap menjadi sahabat paling berharga yang pernah ia miliki sampai sekarang, bersama sahabat barunya di sini, di tempat yang baru pula.

Tuhan, terima kasih telah melepaskan hati ini dari rasa pedih yang dulu membuncah. Walaupun jauh, dia masih bisa menyampaikan rindu untuk mereka pada bintang di langit.

Dan yang akan selalu dia yakini mulai saat ini, sedih dan senang datangnya pasti satu paket kan? Ayolah tersenyum pada bintang-bintang disana, kawan !


TAMBAHAN:
Beberapa qoutes dari:
- Separuh Bintang by Eveline Kartika

0 comments:


 

Blog Template by YummyLolly.com